Stories

What our alumni says.

Enrico Hugo: Founder of cause.id

News taken from: https://medium.com/myedusolve/19-interview-session-w-enrico-hugo-founder-of-cause-virtual-run-cause-id-b62ce7ad1cd0 Hai semua! Pada episode KenalanYuk! Kali ini kita akan kenalan dengan Enrico Hugo, salah satu founder dari Cause Virtual Run (cause.id), sebuah platform penyelenggara acara lari virtual. Tell us who you are, what’s your passion about and what you’re currently up to? Nama gue Enrico Hugo, saat ini sedang membangun sebuah startup dengan nama Cause Virtual Run, atau kadang disebut Cause.id. Pada dasarnya, Cause itu sebuah platform penyelenggara acara lari virtual yang misinya adalah untuk mengajak orang-orang supaya memiliki gaya hidup sehat melalui olahraga lari. Banyak orang yang pengen mulai olahraga, misalnya ngajak teman-teman ke CFD (Car Free Day) tapi ternyata ga direalisasikan. Karena lebih banyak alasan untuk tidak-nya daripada untuk iya. Dari contoh tersebut, kami sadar bahwa sebenarnya orang-orang cuma butuh trigger atau pemicu untuk bisa benar-benar memulai olahraga. Karena itulah namanya Cause, kami percaya setiap orang punya cause yang berbeda-beda untuk lari. Ada yang karena medalinya bagus, ikutan teman, karena temanya sesuai dengan apa yang dia suka, atau karena alasan charity, dan sebagainya. Makanya kita berusaha menyediakan berbagai causes yang bisa jadi pemicu orang mulai lari dan punya gaya hidup yang sehat. What are some things that keep you up at night? Kalo di weekdays kebanyakan kerjaan, tapi belakangan adalah tentang dealing with other people, di siang hari gue lebih ke monitoring pekerjaan tim dan keep in touch dengan partners. Kalau malam, jam 8–10 kebanyakan gue lebih mengerjakan programming, coding, testing, reviewing dan sebagainya. Setelah itu gue planning atau bikin to-do list untuk besok, baik untuk diri sendiri maupun tim. What is your typical day to day routine like? Sehari-hari kami biasanya mulai bekerja jam 09.00 dimulai dengan check-in atau absen di group chat, kemudian masing-masing sudah bisa melihat tugas mereka untuk hari tersebut apa saja. Setelah itu, istirahat makan siang jam 12 sekitar 1–2 jam supaya kita bisa refreshing juga apalagi setiap hari mengerjakan suatu hal yang sifatnya berulang. Terlebih lagi untuk designers, kadang-kadang bisa mengalami creativity block, begitu juga dengan gue. Setelah itu, kita lanjut kerja lagi sampai kurang lebih jam 6. Sekitar jam 5 sore kita biasanya ada review pekerjaannya sudah sampai mana dan apakah ada masalah atau tidak supaya bisa kita revisi lagi sebelum go offline for the day. You’re involved in a mentorship program with Binus CIDER, can you maybe tell us a little bit more about that experience and how you make time despite all the things that you’re doing? CIDER sendiri adalah sebuah inisiatif dari BINUS University International untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa atau alumni yang mau bergabung dalam entrepreneurship track atau memulai bisnis mereka sendiri. Jadi, kami (gue dan Nicholas, co-founder dari Cause) adalah dua dari sejumlah orang yang dipilih untuk menjadi mentor. Kebanyakan pesertanya memang mahasiswa dan beberapa diantaranya adalah alumni. Ide-ide usaha mereka pun bermacam-macam dari platform tentang kesehatan mental sampai dengan usaha kuliner sehat. Tugas kami adalah membagikan bagaimana cara melihat kesempatan dan untuk mengkalkulasikan apakah sebuah ide feasible atau tidak untuk dieksekusi, bagaimana cara mengakalinya supaya jadi feasible, dan hal-hal mendasar lainnya. Meskipun startup gue sendiri belum terlalu besar, tapi berdasarkan pengalaman kurang lebih hampir 2 tahun menjalaninya, semoga apa yang kami bagikan bisa bermanfaat. Is there anything that you wish you’ve known before you start Cause.id? Iya ada. Kami baru tahu bahwa ternyata market kami begitu terbatas. Pada awalnya, kami berpikir bahwa semua orang bisa melakukan olahraga entah itu lari atau jogging, dan lain-lain. Di CFD kan kita juga bisa lihat bahwa peminat olahraga lari dan jogging banyak banget. Tapi ternyata persepsi orang-orang terhadap running/lari itu berbeda-beda. Ada yang berpikir bahwa lari termasuk olahraga yang ekstrim, sehingga ketika ngomongin komunitas lari, di Indonesia anggotanya mungkin ada sekitar 200,000 ribu orang, yang berarti existing marketnya tidak terlalu besar. Jadi tantangannya adalah bagaimana membuat atau mengajak orang-orang yang sebelumnya belum pernah olahraga atau lari, supaya ga sekaget itu untuk masuk ke dunia lari. Jadi orangnya boleh aja mulai dari jalan kaki, jogging, atau jika kita ngomong tentang masa COVID-19 ini, yang ga boleh keluar rumah bisa olahraga di rumah. Itulah alasan kami memperkenalkan sebuah program baru yang dinamakan “virtual workout” agar orang-orang bisa melakukan dan mencatat workout mereka di rumah aja. Jenis workoutnya tidak hanya lari saja, tapi ada berbagai aktivitas lainnya yang bisa dilakukan dari rumah. Tapi karena fokus kami saat ini adalah serve the current market jadi program ini diperuntukkan sebagai alternatif untuk pelari yang ga bisa lari diluar. Kami belum memasarkannya ke publik. Karena kami juga masih mengembangkan fitur dimana orang-orang bisa ikut olahraga sambil menonton video dan langsung terekam, sehingga lebih praktis. Fitur ini sudah bisa diakses publik dalam 1–2 bulan ke depan. Jadi ini bisa jadi pintu masuk orang-orang ke healthy lifestyle. Sekarang terlebih dengan adanya COVID-19, semakin banyak konten-konten olahraga yang bisa diakses masyarakat. What differentiate cause.id and the others? Pastinya teman-teman pembaca juga bisa cek konten-konten tersebut di sosial media kami. Terkait perbedaan Cause dengan virtual run lainnya bisa dilihat dari event pertama yang kami gelar, sebuah charity virtual run berjudul Run To Empower. Alasan kenapa kami memutuskan untuk membuat acara charity sebagia event pertama kami, karena kami sadar bahwa banyak orang yang lari baik yang sudah lama maupun baru didorong oleh charity. Bagaimana ketika lari, kita juga bisa memberikan dampak yang baik bagi orang lain. Karena itu 50–60% acara kami adalah untuk charity. Di masa COVID-19 ini kami juga punya beberapa program dalam bentuk virtual challenge. Salah satunya berjudul COVID-19 Virtual Challenge, tujuannya untuk mengajak orang-orang beraktivitas di rumah aja sekaligus berdonasi untuk membantu para pekerja informal yang terdampak COVID-19. Donasi yang terkumpul kemudian kami sampaikan melalui platform Kitabisa.com untuk disalurkan kepada yang membutuhkan. Event seperti ini penting, karena kesehatan itu tidak cuma dari fisik tapi juga dari mental. Memberikan sesuatu kepada orang lain yang memerlukan adalah salah satu hal yang bisa menjaga kesehatan mental kita. How do you innovate, in terms of making people support a cause? For example 60% out of your 25 events in a year are caused-base running activities, in terms of promotional materials or in terms of asking people to join this cause, is there a way to innovate the running and giving space? Kalau tentang itu sebetulnya kami juga masih mencari formula yang pas karena memang event-event charity kami selalu mengangkat tema yang berbeda seperti disabilitas, pendidikan, Alzheimer’s, COVID-19, dll. Formula untuk setiap campaign tentunya tidak one size fits all. Salah satu bentuk fundraising yang sedang kami lakukan adalah dengan konversi kilometer menjadi donasi. Saat seseorang berlari, jumlah kilometer yang ditempuh akan dikonversikan menjadi donasi dengan nominal tertentu dan kemudian disalurkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Tugas kami dalam skema ini adalah mencari partner — partner untuk mendanai fundraising campaign ini dan juga NGO atau non-profit yang akan mengeksekusi donasinya. Selain itu, bisa juga menggunakan metode lain seperti retail fundraising atau corporate fundraising. Kedepannya kami tidak tau trend-nya seperti apa, tapi kami berusaha membuat fundraising sebagai sebuah aktivitas yang menyenangkan dan menguntungkan bagi yang berpartisipasi. Tidak hanya memberikan sesuatu, tapi kita juga bisa mendapatkan sesuatu in return. How do you see influencers impacting more through cause.id, and how do you maintain relationship with influencers? First of all you need to have this mindset, give and take. You can’t just get or take, you need to give something in return. However, relationships are a two way street. To maintain the relationship we might need to ask a favor. Tapi kita juga harus ready to give back when needed. Mindset yang harus dimiliki oleh pebisnis adalah business is about transactions, it’s always about give and take. Orang harus ready to give sebelum mengambil atau meminta sesuatu. Kita harus mengenal orangnya dan membina hubungan baik sebelum kita memerlukan bantuan apapun. How do you approach networking or collaboration in the time where it’s not possible to meet offline? Semua kolaborasi saat ini tentu saja terbatas oleh ruang. Kita tidak bisa ketemu langsung dan harus melakukannya secara online. Basically, yang kami lakukan adalah memaksimalkan manfaat teknologi karena kami juga pada dasarnya adalah perusahaan teknologi yang mengadakan event-event berbentuk virtual. Contohnya, saat ini Cause sedang bekerjasama dengan Allianz untuk mengajak orang-orang berolahraga #30MenitSehari di rumah masing-masing. Salah satu benefit yang kami sediakan untuk para peserta adalah tersedianya video workout yang terdiri dari gerakan-gerakan pemanasan sampai ke gerakan level advanced. Dalam proses membuat video tersebut kami berkolaborasi dengan komunitas lari yang memiliki pelatih strength training seperti Indorunners, Fakerunners dan RIOT Indonesia, kemudian meminta para pelatih tersebut untuk merekam konten video yang kemudian kita upload ke platform Cause agar bisa diakses semua orang. Jadi, cara kita kolaborasi saat ini adalah online, dimana selain video tadi kami juga sudah mulai mengadakan beberapa sesi live melalui Instagram dan Zoom terkait olahraga dan healthy lifestyle. How do sports and being active transform your life? Sebelum memulai ini, gue melihat iklan tentang virtual run yang akhirnya akan dikirimkan medali dan akhirnya gue coba. Singkat cerita, orang seperti gue yang tadinya menganggap lari sebagai olahraga yang membosankan aja ternyata bisa tertarik dan coba untuk lari 10 kilometer. Dari situ gue melihat bahwa ada kesempatan di bidang ini, mungkin banyak orang-orang yang kayak gue bisa termotivasi dengan adanya platform seperti ini di Indonesia. Akhirnya kita bikin perusahaan ini dengan tujuan memotivasi orang-orang untuk berlari. Dalam proses mengembangkan Cause, gue dan co-founder gue sangat sering berinteraksi dengan teman-teman di berbagai komunitas lari, dan pertanyaan yang sering muncul adalah “ikut race apa tahun ini?”. Setelah sekitar 1 tahun berjalan, akhirnya gue menerima challenge untuk ikutan race yang lumayan “extreme” rasanya pada saat itu, yaitu Borobudur Marathon kategori half marathon di November 2019 yang lalu. Lumayan menantang, karena harus training dalam waktu 3 bulan sebagai transisi dari yang sebelumnya hanya pernah 10km menuju 21km. Not bad for a first try, akhirnya gue bisa finish dalam waktu sekitar 3 jam di Borobudur Marathon kategori HM. Basically dengan memulai perusahaan ini, it changed our lives quite a lot karena kita harus jadi role model. Internally, tim di kantor Cause juga punya weekly activity setiap hari Jumat buat lari bersama di GBK. Sejak bekerja dari rumah, kita juga terpikir untuk mau mulai 14-day workout challenge dari rumah masing-masing. Soalnya kita kan memang healthy lifestyle company, might as well kita juga bikin challenge untuk diri sendiri. How is it like to build a community virtually versus physically? What are some of the most important things to keep in mind when you’re building a virtual/online community? Pertama, pastinya beda di scale. Ketika misalnya ada sekelompok orang yang janjian lari di suatu tempat, orang dari tempat lain jadi susah untuk mengikuti, kemudian kita harus mempertimbangkan interaksi para peserta. Kebanyakan orang yang lari, biasanya lari sebagai individu, meskipun ikut dalam sebuah komunitas, komunitasnya juga orang-orang sekitarnya. Belum ada fitur yang memungkinkan orang-orang bisa workout sambil membuat komunitas baru dengan orang yang baru dikenal. Untuk itu kami ingin membangun sebuah sistem dimana selain berolahraga di tempat masing-masing, para pengguna juga bisa saling berinteraksi dan melihat perjalanan atau progress dari peserta lain agar dapat saling menginspirasi. Ada ga sebuah cerita yang membuat lo sadar bahwa apa yang lo lakukan sekarang worth it? Ada, sesuai yang gue cerita tadi kan sebagian besar acara yang kita bikin adalah untuk charity. Ada orang-orang yang sebenarnya ikut bukan untuk lari tapi untuk sebuah alasan yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Contohnya, waktu itu kita pernah bikin acara charity untuk teman-teman difabel, ternyata ada yang ikut karena orang tuanya juga memiliki keterbatasan untuk bergerak sehingga harus terus didampingi. Pada saat dia lari, dia seakan mengenang masa-masa itu dan dia pun cerita di description box running nya. Menurut gua sih ini jadi satu tempat untuk orang-orang bisa berkomunikasi dan mengekspresikan diri sesuai dengan topik yang mereka rasa relevan atau relate dengan diri mereka. Ada satu komunitas di Indonesia namanya RIOT (Running is Our Therapy) juga menyampaikan bahwa orang-orang lari bukan hanya untuk kesehatan fisik tapi juga untuk kesehatan mental. Mereka mungkin saja ingin mengeluarkan isi hatinya. Salah satu cara kita untuk membantu mereka adalah dengan menyediakan channel dimana mereka juga bisa menulis cerita mereka masing-masing. Cerita yang inspiratif dan bisa memotivasi orang lain biasanya akan kami feature di newsletter atau Instagram. Cause juga selalu mengangkat topik tentang isu-isu sosial yang berbeda-beda. Jadi orang ga cuma lari doang, tapi bisa jadi paham tentang isu-isu tertentu. Kami percaya bahwa edukasi tentang isu-isu sosial yang ada adalah langkah pertama agar orang-orang nantinya bisa turut berkontribusi dalam menyelesaikan isu-isu tersebut, dan menurut kami Cause adalah sebuah platform yang bisa membawa pesan penting ini ke orang-orang awam, dimulai dari para pelari. Would you mind sharing some of the things that you’ve learned from building this business? Kalau berbicara tentang bisnis ini, awalnya gue pernah IT consultant, insurance agent, internship, dan semua pekerjaan ini perlu skillset yang berbeda-beda. Dalam membangun bisnis, tentunya sangat berbeda dari saat bekerja sendiri, karena kita ga bisa hanya memikirkan diri sendiri tapi juga harus memikirkan tim yang kita pimpin. Apalagi kalau posisinya sebagai CEO yang harus set the direction. Jujur aja, sebelumnya gue orang yang “terserah”. Ini boleh, itu juga boleh. Ternyata sebagai pemimpin, kita ga bisa seperti itu, kita harus firm untuk membawa perusahaannya ke arah yang seharusnya. Orang-orang membutuhkan instruksi dari kita, kalau kita wavering mereka kan juga jadi tidak tahu kemana arahnya. Jadi satu hal yang gue pelajari disini adalah tentang leadership. Bagaimana caranya kita menjadi teladan, mengambil keputusan yang benar, mengkomunikasikan apa kita ingin mereka lakukan. Karena ketika mengambil keputusan A tapi kita ga bisa mengkomunikasikan kenapa keputusan A itu bagus, yang lain juga tidak akan mengerti dan peduli. Kita suruh mereka kerja, ya mereka akan kerj. Tapi kan zaman sekarang, apalagi tim di Cause, itu semuanya seumuran sekitar umur 24–25 tahun. Orang-orang seperti kita kebanyakan bekerja dengan purpose dan passion, bukan semata-mata untuk gajinya doang. Kalau dulu mungkin orang memang bekerja cuma untuk cari duit, tapi kalo orang dengan passion ya beda lagi. Jadi setiap komunikasi, kita harus bisa memberikan mereka purpose, bahwa mereka bisa berkontribusi ke suatu hal yang lebih besar melalui apa yang mereka lakukan dan kerjakan. What do you think differentiate a good leader and a great leader? Hal itu mungkin agak susah untuk dijawab, karena gue pribadi ga punya semacam role model. Gue belajar dari siapapun karena setiap orang pasti memiliki sesuatu yang kita ga punya. Menurut gue salah satu hal yang paling penting dimiliki oleh great leader adalah kemampuan untuk bisa beradaptasi dengan baik. Misalnya, disaat tertentu harus marah ketika mereka berbuat kesalahan supaya mereka ngerti, ya marah, ga bisa terus-terusan jadi “good” atau “nice” leader juga. Kalau dari pengalaman gue pribadi di Cause, gue bekerja dengan co-founder gue dan kita udah bagi tugas dimana gue jadi Good Cop dan dia jadi Bad Cop. Setiap ada suatu yang benar atau berita baik gua yang akan ngomong, dan ketika ada bad news atau suatu hal yang perlu diperbaiki maka dia yang akan ngomong. Karena itu sekarang kita juga bagi tugas, gua lebih ngurus hal-hal eksternal dan dia lebih ke hal-hal internal. Pesan spesial juga buat co-founder gue, thanks a lot for taking up the difficult role and still nailing it every time! Dengan begitu, kalau ngomongin soal jadi great leader, kita ga bisa cuma menjadi leader yang kind, strict, play by the book, atau “harus bisa semuanya” karena ga mungkin juga kita bisa melakukan segalanya sendiri. Kita harus bisa beradaptasi dengan situasi yang ada. Saat lo harus marah ya harus marah, disaat harus memberikan apresiasi ya harus kasih apresiasi, di saat harus minta maaf ya harus minta maaf. I remember that you are still handling customer service, can you take us through your experience and what makes it important for you and for Cause? Customer service adalah satu bagian atau sisi terpenting dari Cause, bahkan mungkin dari semua bisnis. Karena menurut gue, salah satu hal yang paling penting dan harus dimiliki siapapun adalah empati. Saat dealing with customers, kita harus selalu berpikir kira-kira apa yang bisa kita bantu terkait kesulitan yang dia alami. Kita seperti membangun sebuah hubungan dimana kita membantu apa yang mereka perlukan dan nantinya mereka juga bisa membantu saat kita yang membutuhkan. Customer service adalah satu cara untuk kita berinteraksi dengan orang dan membangun empati. Kita bisa belajar banyak dari cara mereka menyampaikan sesuatu, entah itu komplain, apresiasi atau bahkan saat mereka sekedar kasih tau bahwa jersey yang mereka menangkan sudah sampai. Kita jadi tau apa yang mereka rasakan ketika menggunakan platform ini. Dengan begitu kita juga bisa kasih sebuah layanan atau fitur atau campaign yang memang dipedulikan atau diinginkan oleh orang-orang karena kita benar-benar mendengarkan pendapat dan masukan mereka. Ketika orang-orang bisa relate dan terinspirasi dari hasil kerja kita, kita juga jadi punya motivasi dan purpose untuk bekerja lebih baik lagi. How do you translate empathy into code or product? Kita selalu collect feedback terkait dengan laporan yang ada. Misalnya ada yang report kalo susah menemukan tombol donasi, kita .akan tanyakan lagi menurut usernya lebih baik ditaruh dimana. Gue pernah baca sebuah buku berjudul Connect. Intinya semua bisnis akan mengalami cycle of crisis. Ga mungkin lo ga pernah membuat kesalahan dan ga mungkin semuanya perfect. Kami sendiri sudah pernah mengalami “krisis” beberapa kali, misalnya ada pengiriman yang tertunda, pesan medali tapi produknya rusak, dan sebagainya. Pada saat itu lo berada di sebuah krisis dan kita harus menyampaikan hal tersebut ke user. Nah masalahnya, orang-orangnya ga akan mau memahami atau memaklumi kesalahan kita kalo kita ga deket sama mereka. Karena itu, pada saat kita bikin konten atau event, kita selalu provide layanan customer service yang terbaik dan memastikan semua kebutuhan sudah terpenuhi dan bahkan go the extra mile untuk menawarkan bantuan lebih. Dengan begitu, orang-orang selalu apresiasi admin kita baik dan fast response. Gue juga memastikan untuk bisa bales customer paling lama dalam 5 menit setelah dia bertanya supaya kita bisa membuat orang merasa dihargai. Dengan adanya pondasi hubungan baik ini, apabila ke depannya ada komplain, kita jadi bisa tanya masukan mereka, lebih baik seperti apa, konten yang mereka suka seperti apa, dan sebagainya. Can you share about the time when you failed epicly but it also taught a lot of things that makes you who you are today? Ga ada particular event sih, tapi memang salah satu yang gue selalu bilang ke tim adalah “sh*t happens”. Kita harus selalu prepare untuk apapun yang akan terjadi, kalau misalnya itu terjadi ya udah, because sh*t always happens. Banyak orang yang mungkin saat mengalami masa sulit malah linger around masalah itu. Sedangkan menurut gue, ketika masalah itu sudah terjadi, itu sudah bukan masalah lagi. Akui aja kalau memang kita salah, kemudian kita analisa secara objektif agar ke depannya bisa lebih baik lagi, bukan disesalkan. Ketika sebuah masalah sudah terjadi karena kesalahan kita ataupun orang lain, kita harus let go dan move on untuk memperbaikinya dulu. Kita bisa ngomongin tentang konsekuensi dari kesalahan itu nanti setelah masalahnya berhasil diselesaikan. What is something you wish people know more about you or Cause? Kalau buat Cause, kita belum bisa banyak nunjukin banyak tentang Cause karena kami memang masih cukup early. Dari 2 tahun ini belum banyak yang bisa ditunjukkan karena masih banyak yang kita rencanakan namun belum bisa dieksekusi. Kami masih mencari kesempatan untuk merealisasikannya untuk para users. Kami sedang mencari investor dan berharap bisa membuat Cause menjadi sesuatu yang bisa digunakan oleh semua orang. Kita ingin membuat nationwide movement dimana orang bisa ikutan, gak ribet, ga harus lari, bisa olahraga apa aja. Atas olahraga itu kita akan berikan apresiasi atau insentif agar orang-orang semakin bersemangat dalam menjaga healthy lifestyle mereka. Dengan begitu orang-orang yang mungkin tadinya ga suka lari atau olahraga, ketika sedang senggang bisa coba lari atau jogging, atau olahraga apapun dan merasa ketika mereka olahraga ada yang peduli akan hal itu dan menjadi semakin termotivasi. Harapannya, suatu saat mereka akan sadar bahwa olahraga adalah bagian dari gaya hidup sama seperti makan dan aktivitas lainnya, bahwa olahraga itu ga sulit atau ribet. Do you have advice to people who want to be an entrepreneur or are making an impact? Ada, mungkin lebih ke prinsip yang tadi sih. Pertama, lo harus punya empati supaya bisa tau apa yang dibutuhkan orang-orang di luar sana. Setelah dipraktekkan, baru lu akan punya sensenya. It’s like riding a bicycle, you cannot read a book about cycling and expect to be good at it. Yang kedua, lo hanya bisa memanen apa yang lo tanam dan itu ga instan. Ga bisa kita kerjakan hari ini dan besok berharap sudah ada hasilnya. Jadi apapun yang lo lakukan, plan it ahead. Lakukan dulu, mungkin saat itu lo belum merasa butuh tapi lo ga tau apa yang akan terjadi ke depannya. Karena bisnis bukan hanya tentang uang tapi tentang impact dan having good relationships dengan orang — orang yang kita bantu dan membantu kita. Jadi salah satu yang paling penting adalah kita harus punya as many options as possible supaya kedepannya kita lebih mudah memilih, karena saat kita butuh nanti pastinya ga ada yang instan dan langsung tersedia unless we plant the tree today. How do you identify a burnout, how do you deal with it and how do you recover from it? Burnout adalah salah satu isu yang lebih gampang terjadi di situasi work from home seperti sekarang, karena lo sejak bangun pagi sampai tidur lagi maunya tetap produktif. Dan itu adalah hal yang gue alami sekarang. Kalau di kantor waktunya break-nya jelas, jam 6 pulang. Sedangkan kalau dirumah kita jadi kehilangan waktu dimana biasanya kita travel dari rumah ke kantor dan sebaliknya, sedangkan kalau dari rumah kita travelnya ga jauh-jauh, cuma dari bed ke laptop. Kita jadi overproductive tanpa sadar. Burnout itu bisa dirasain sebenarnya, simply ketika suatu hari gue merasa jadi ga seproduktif biasanya. Luckily gue punya co-founder yang selalu bisa dan bersedia untuk cover for 1–2 hari sampai gue siap untuk get back on track. Karena kalau udah burnout, gue lanjutin juga percuma, ga akan produktif. Kadang-kadang kalau perlu liburan, dia juga bersedia untuk cover gue tentang urusan kantor dan begitu pun sebaliknya. Jadi, cara mengatasi burnout adalah dengan istirahat, so make sure you have a supportive co-founder or team. What are the 3 most important things to look for in a Co-founder? To say it simply, dia harus punya apa yang gue ga punya. Misalnya gue introvert, sebisa mungkin dia bisa ngomong. Tapi kalau harus di breakdown jadi 3, pertama dia harus trustworthy. Gue ga mungkin bisa punya Co-founder yang setiap hari gue harus worry apakah ketika gue kasih tau ide tertentu dia akan bikin sendiri. Itu sangat sulit, malah bisa jadi toxic relationship-nya. Kita butuh orang yang bisa diajak diskusi tentang ide apapun meskipun mungkin di luar pekerjaan. Kedua, dia harus reliable. Ga mungkin kita punya Co-founder yang harus kita maintain lagi, dia harus setidaknya se-level dengan gue, supaya saat dibutuhkan dia bisa take over pekerjaan gue dan juga sebaliknya. Yang ketiga adalah dia punya apa yang gue ga punya, karena kalau kita sama jadinya redundant dan yang bisa kita kerjakan menjadi terbatas. Rapid Fire What is the best advice that you’ve ever received? Maintain your relationship like you’re planting a tree. Lo harus nurture sebuah relationship dari saat sebelum lo butuh relationship itu, karena ketika lo butuh hal tersebut tidak akan bisa instan. What or who is your inspiration? Everybody. Semua orang punya plus minus, dari plusnya kita bisa tahu apa yang bisa dicontoh dan dari minusnya kita bisa tahu apa yang tidak seharusnya dicontoh. What is the book that changed your life? Never Eat Alone — Keith Ferrazzi. What is your philosophy? Always do good. Ini related ke semuanya yang tadi, kita tidak tahu kapan kita akan butuh bantuan orang, jadi selagi bisa kita bantu aja dulu siapa yang bisa kita bantu.
Read more

Kevin Osmond: Story of a Real Entrepreneur

News taken from: https://klicksolo.com/kevin-osmond-sebagai-serial-entrepreneur-sejati/ Kevin Osmond Sebagai Serial Entrepreneur Sejati, Kevin Osmond adalah nama yang sudah tidak asing di telinga para pemain industri teknologi atau dunia startup. Kevin merupakan seorang serial entrepreneur yang telah lama menekuni dunia startup dan berhasil membangun beberapa perusahaannya sendiri sejak ia menyelesaikan kuliahnya di bidang computer science. Sebagian besar dari anda pasti sudah mengetahui startup yang telah dibangun oleh Kevin beserta teman-temannya, seperti FIMELA, Bouncity, Tiket, Weekend Inc, hingga yang terbaru ini adalah Printerous. Dalam sesi interview dengan tim Startupbisnis kali ini, kita akan belajar dan membahas perjalanan seorang Kevin Osmond dalam meraih kesuksesannya membangun suatu perusahaan. Dalam tulisan di bawah ini, anda akan mendapatkan beberapa insight yang mendalam tentang perjalanan Kevin membangun kesuksesan FIMELA, penyebab kegagalan Bouncity, awal mula berdirinya Tiket dan kenapa Kevin memutuskan keluar dari Tiket untuk mendirikan Weekend Inc dan Printerous, dan masih banyak lagi pelajaran yang bisa anda serap dari perjalanan Kevin dalam membangun beberapa perusahaannya. Semua terangkum lengkap dalam tulisan di bawah ini. Pekerjaan pertama yang tidak terlupakan Bermula dari hobi coding, desain, dan membuat website sejak tahun 1999, Kevin memutuskan untuk kuliah di Binus (Bina Nusantara) dengan jurusan computer science. Pekerjaan pertama yang ia geluti sebagai web developer adalah ketika ia praktek kerja di suatu perusahaan IT yang cukup terkemuka di tahun 2005, yaitu PLASMEDIA. “Dengan bekerja di perusahaan seperti ini, saya mendapatkan banyak pembelajaran mengenai alur dari bisnis web development. Selama bekerja, saya rajin bertanya dengan berkeliling ke setiap unit kerja di perusahaan ini, seperti bagian desain, sales, dan web development,” ungkap Kevin. Selain itu, Kevin juga pernah bekerja di Kamar Dagang dan Industri Perancis dimana ia mengungkapkan bahwa kerjaannya di sana mirip dengan “kuli IT.” Yang dimaksud “kuli IT” ini adalah ia mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, seperti memperbaiki jaringan internet, memperbaiki printer, bikin web, mendesain brosur, dan masih banyak lagi. “Ini adalah kenangan yang cukup lucu karena hanya ada satu orang yang mengerti tentang IT dalam perusahaan itu,” kata Kevin sambil tertawa mengingat masa-masanya dulu kala itu. Namun, setelah tiga bulan bekerja, ia memutuskan berhenti dari kerjaan ini Karena ia ingin fokus untuk menyelesaikan skripsi. Membangun perusahaan pertama saya, AITINDO!! Setelah lulus pada tahun 2005, bersama ketiga teman kuliahnya, Kevin mendirikan AITINDO, yaitu perusahaan yang melayani jasa web development. Dengan berkantor di lantai 3 dari suatu warnet milik kakak Kevin, mereka berempat mulai menangani berbagai projek pengembangan website, termasuk salah satu projek awal yang hanya bernilai Rp10 juta tapi dikerjakan selama 3-4 bulan lamanya. “Ini adalah kesalahan kami karena pada waktu itu kami belum memiliki pengalaman kerja yang memadai, jadi projek yang seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu cepat menjadi molor hingga 4 bulan,” ungkap Kevin.“Tapi di sinilah kami belajar dari beberapa kesalahan kami bahwa kami harus bekerja sebagai orang yang professional,” tambahnya. Singkat cerita, sekitar tahun 2009, Kevin dan temannya (Raymon) diajak bergabung ke Magnivate untuk menangani suatu unit bisnis tertentu. Magnivate adalah digital agency yang melayani jasa online advertising, online marketing, dan sosial media. Setelah bekerja di sini kurang lebih satu tahun dan memahami seluk beluk online marketing dan sosial media, Raymon kembali ke AITINDO untuk mengembangkan perusahaan ini menjadi digital agency juga, sedangkan Kevin bersama Ben Soebiakto (CEO Octovate Group) mendirikan FIMELA pada akhir tahun 2010. Baca juga: Perjalanan Kevin Mintaraga membangun Magnivate hingga berhasil diakuisisi dan berubah nama menjadi XM Gravity. Perusahaan selanjutnya, FIMELA!! Apa yang melatarbelakangi Kevin ikut serta mendirikan FIMELA sebagai CTO perusahaan media online khusus wanita ini? Selain karena diajak oleh Ben, ternyata pada tahun 2008 Kevin pernah membangun FILMOO, suatu situs yang fokus membahas tentang review pada suatu film, singkatnya adalah IMDB (Internet Movie DataBase) versi Indonesia. Diakui oleh Kevin, di masa awal FILMOO berhasil menarik traffic yang besar dari para penikmat film beserta blogger-blogger yang sering me-review suatu film, baik film lokal maupun internasional. FILMOO pun sering ikut serta dalam acara festival film lokal seperti FFI (Festival Film Indonesia). FILMOO juga mendapatkan banyak endorse dari para artis dan sutradara seperti Joko Anwar, The Moo Brothers, dan Sherina Munaf. Dengan bantuan endorse ini, server FILMOO sempat hang kerena tidak mampu menampung traffic dalam jumlah besar yang masuk pada hari pertama peluncuran website ini. Joko Anwar, salah satu sutradara bertalenta di Indonesia mengucapkan terima kasih dan menunjukkan rasa bahagia atas berdirinya FILMOO karena tidak ada website di Indonesia yang pada waktu itu fokus membahas film-film kecuali FILMOO. Kesuksesan FILMOO memang cukup cepat dan luar biasa, namun kenapa hingga detik ini kita tidak pernah mendengar namanya lagi? Itu semua disebabkan karena FILMOO tidak berhasil mempertahankan masa-masa kejayaan mereka. Menanggapi hal ini, Kevin menjelaskan, “FILMOO bisa dibilang cukup sukses di masa awalnya, tetapi dikarenakan kami hanya mempunyai tim penulis namun tidak mempunyai tim marketing & sales , tim yang bisa mendatangkan traffic ke website dan menghasilkan kami uang, dan juga karena kami tidak fokus, masa operasional FILMOO hanya bisa bertahan selama satu tahun,” jelas Kevin. Dengan pengalaman inilah ia belajar tentang bagaimana menjalankan bisnis media online dengan benar, lalu di penghujung tahun 2010 ia diajak oleh Ben Soebiakto untuk membangun FIMELA. Bagaimana FIMELA bisa menjadi salah satu media online khusus wanita yang terbesar di Indonesia FIMELA dibangun dengan visi untuk menjadi media online khusus wanita nomor satu di Indonesia. Kevin mengatakan bahwa bagian yang kuat pada FIMELA bukanlah jumlah traffic, melainkan sales dan konten. Walaupun FIMELA tidak mempunyai jumlah traffic setinggi Detik, tapi revenue yang dihasilkan perusahaan ini setiap tahunnya tidak bisa dikatakan rendah. Dengan menawarkan konten yang berkualitas tinggi dan tertarget (khusus wanita), banyak brand yang berlomba-lomba untuk menawarkan kerjasama dengan FIMELA, mulai dari operator seperti Telkomsel dan Indosat hingga brand yang khusus menjual produk wanita seperti Sunsilk, Ponds, dan masih banyak lagi. Menurut Kevin, “brand sekarang sudah tidak lagi mencari masa dalam jumlah yang banyak untuk beriklan, mereka lebih mementingkan kualitas dibanding kuantitas. Dengan menawarkan segmentasi yang sangat tertarget pada kaum wanita, FIMELA bisa menarik banyak brand untuk diajak kerja sama. Itulah yang membuat kami besar seperti sekarang,” pungkasnya. Darimana saja FIMELA menghasilkan uang? Selain dari iklan di website, perusahaan media online ini menghasilkan uang salah satunya adalah dari event tahunan, yaitu “FIMELA Fest” yang biasanya diadakan di beberapa mall besar di Jakarta. Event ini terdiri dari bazaar, talkshow, dan musik, yang semuanya khusus dipersembahkan untuk kaum wanita. Sudah bisa dipastikan bahwa banyak brand yang tergoda untuk bekerja sama dengan FIMELA dalam event yang dihadiri ribuan wanita setiap tahunnya ini. Dalam mengekspansi bisnisnya, FIMELA tidak ingin menjadi media yang hanya mengandalkan jumlah traffic sebagai nilai jualnya ke pasar. Perusahaan ini selalu mencoba menawarkan asset mereka yang lain selain jumlah traffic, sebut saja email blast. Dengan memiliki ratusan ribu member, FIMELA juga bisa melakukan email blast kepada seluruh member mereka untuk menawarkan produk dari brand yang bekerja sama dengan perusahaan ini. Intinya, FIMELA selalu menjunjung tinggi kualitas dibanding kuantitas. Dan inilah salah satu faktor kenapa Kapanlagi Network tertarik untuk melakukan merger dengan FIMELA Group pada beberapa bulan yang lalu. Dengan merger ini, sekarang ada 15 website dibawah naungan Kapanlagi Network (10 website) dan FIMELA Group (5 website). Jika mereka semua ditotalkan, maka traffic yang masuk setiap harinya sudah mencapai ratusan juta. Hemat.com, situs daily deals yang kiprahnya tidak begitu terdengar di pasar Setelah FIMELA bisa berjalan lancar, Kevin beserta temannya mencoba peruntungan baru dengan mendirikan situs daily deals yang bernama hemat.com yang bekerjasama dengan Kapanlagi.com. Tapi sayangnya, situs ini hanya bisa berjalan sebentar sebelum Kevin dan temannya pergi meninggalkan bisnis ini. Sesuai dengan pernyataan yang dilontarkannya, “kami menghentikan operasional situs ini karena pada waktu itu kami menyaksikan bahwa Disdus telah diakuisisi oleh Groupon dan DealKeren telah diakuisisi LivingSocial yang mana ini membuat kami kehilangan hasrat untuk meneruskan operasional bisnis ini,” ungkap Kevin. Ia menambahkan bahwa hemat.com telah bekerja sama dengan hampir 50 merchant sebelum mereka meninggalkan bisnis ini. Sekarang hemat.com masih tetap berjalan di bawah naungan Kapanlagi Network. Lahirnya Bouncity Kiprahnya dalam membangun startup tidak hanya sampai di sana, pada pertengahan tahun 2011 Kevin bersama ketiga temannya membangun Bouncity. Menurut Kevin, “Bouncity termasuk ide yang cukup nekat karena kami ingin mengikuti jejak kesuksesan Foursquare di Amerika dan Negara lainnya. Bouncity adalah aplikasi mobile mirip dengan Foursquare tetapi dengan penambahan fitur yang beda, yaitu game,” ujarnya. Dikembangkan sejak awal tahun 2011 dan diluncurkan di @atamerica pada bulan Juni 2011 untuk Blackberry dan mobile, pengguna Bouncity pada hari pertama langsung meledak ke angka hampir 20.000 pengguna. Dan bisa dipastikan bahwa tim teknis kewalahan menghadapi hal ini. Pada acara peluncuran ini, ada sekitar 40 media yang hadir untuk meliputi kehadiran Bouncity. Dan tidak membutuhkan waktu yang lama, Bouncity akhirnya di-invest oleh seorang angel investor yang merupakan orang yang sama yang berinvestasi di Tiket.com Setelah berjalan selama satu tahun, akhirnya Bouncity di-acquhire oleh Qeon. Ketika diakuisisi ini, pengguna Bouncity sudah mencapai angka 300.000 yang tersebar di Blackberry, Android, dan iOS dengan pendapatan sebesar Rp300 juta yang berasal dari satu klien yang merupakan perusahaan minuman nasional. Perlu anda ketahui bahwa sekitar tiga bulan setelah peluncuran Bouncity, ide untuk mendirikan Tiket.com akhirnya muncul dan keempat founder Bouncity beserta investornya lebih memilih untuk fokus membesarkan Tiket ketimbang Bouncity. Alasan kenapa Bouncity gagal Bagi anda sedang yang mendirikan startup, mungkin kisah dari Bouncity ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua agar ke depannya bisa menghindari kesalahan yang sama. Berikut saya jabarkan satu persatu: 1. Pendiri Bouncity terdiri dari empat orang, yaitu Kevin Osmond, Wenas (CEO Tiket), Dimas (Co-founder Tiket), dan Jeffrey Anthony (CTO Qeon). Sedangkan pendiri Tiket ada tujuh orang yang mana empat orang dari Bouncity dan tiga orang lagi memang dedikasi di Tiket, mereka adalah Natalie Ardianto (CTO Tiket), Richard Fang (Co-Founder Tiket), dan Gaery Undarsa (Co-Founder Tiket). Sebagai orang yang mendirikan Bouncity, empat orang yang telah disebutkan di atas harus memilih antara Bouncity dan Tiket, yang akhirnya mereka berempat memilih untuk fokus ke Tiket. Jadi alasan pertama kenapa Bouncity gagal adalah karena para founder-nya lebih memilih untuk fokus pada Tiket ketimbang Bouncity. 2. Alasan kedua adalah penetrasi smartphone dan internet yang masih rendah. Ini membuat Bouncity sebenarnya belum siap untuk hadir di Indonesia. Hal ini tentu sangat berbeda dengan sekarang dimana penetrasi smartphone yang tinggi dan internet dengan mudah bisa kita dapat. 3. Alasan ketiga dan terakhir adalah karena adanya “paket BB gaul” di Blackberry. Dengan lebih dari 80% pengguna Bouncity berasal dari Blackberry, paket ini membuat mayoritas pengguna Blackberry memilih untuk menggunakan “paket BB gaul” yang memungkinkan penggunaan sosial media dan BBM tanpa jaringan internet. Dengan hilangnya jaringan internet di BB, ini menunjukkan bahwa tidak ada penggunaan Bouncity dan ini adalah salah satu faktor terbesar kenapa Bouncity gagal. “Sebenarnya Blackberry menghancurkan konten mereka sendiri dengan penawaran ‘paket gaul’ ini,” ungkap Kevin dengan kecewa. Menanggapi hal ini pihak Blackberry mengatakan bahwa sebenarnya kehadiran “paket BB gaul” adalah untuk mendorong pengguna Blackberry agar mereka mau meng-upgrade ke “paket full internet,” tapi ternyata kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Pengguna Blackberry malah lebih betah menggunakan “paket gaul” dibanding “paket full internet.” Apa yang bisa dipelajari dari berdirinya Tiket Setelah Bouncity di-acquhire oleh Qeon, tepatnya satu tahun setelah Bouncity berdiri dan enam bulan setelah Tiket berdiri, Kevin pun memutuskan untuk keluar dari Tiket, ia menjelaskan, “Saya memutuskan untuk keluar karena saya merasa bahwa saya masih ingin menciptakan sesuatu yang baru dimana saya masih memiliki kontrol penuh pada bisnis itu,” jelasnya. “Di Tiket, dengan total 7 orang founder, saya tidak merasa bebas melakukan apa yang saya inginkan, inilah yang menjadi alasan saya memutuskan untuk keluar dari Tiket,” tambah Kevin. Menurutnya, Tiket adalah suatu perusahaan dengan bisnis model yang jelas dan scalable. “Ada banyak pelajaran yang saya bisa dapat selama ikut membangun Tiket, termasuk kemampuan untuk menangkap peluang dengan cepat dan implementasi yang tepat, tanpa kedua ini, Tiket tidak akan bisa menjadi besar seperti sekarang,” ungkap Kevin. Salah satu faktor utama kenapa Kevin beserta pendiri lainnya membangun Tiket adalah mereka melihat bahwa Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki potensi besar di ranah pariwisata nantinya. Indonesia adalah Negara yang terdiri dari ribuan pulau, ini menunjukkan bahwa tiket penerbangan ataupun kereta api pasti sangat dibutuhkan bagi konsumen untuk menjangkau tempat jauh yang ingin mereka datangi. Faktor lainnya yang membuat mereka semakin yakin untuk membangun Tiket adalah masuknya Air Asia ke Indonesia dimana penjualan tiket maskapai penerbangan asal Malaysia ini 100% berasal dari penjualan online. Data ini langsung mematahkan pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia belum siap dengan dunia online dan juga data ini memperkuat kenyataan bahwa dunia online adalah masa depan Indonesia. Inilah kenapa ketujuh founder Tiket berani mendirikan perusahaan yang menjual tiket dalam bentuk digital secara online. Dalam hal benchmarking, Tiket memang meniru bisnis model Expedia.com yang sudah lebih maju. Tapi walaupun meniru bisnis model perusahaan lain, eksekusi berbumbu lokal yang tepat tetap menjadi faktor utama berjalannya suatu bisnis atau tidak. Ide boleh saja bersumber dari luar, tapi dalam hal implementasi tetap harus memperhatikan target pasar yang ingin diincar. Think Globally, Act Locally – Kevin Osmond Kehidupan setelah Tiket Setelah Kevin memutuskan keluar dari Tiket pada pertengahan tahun 2012, ia bersama beberapa temannya termasuk Richard Fang mendirikan studio desain website dan mobile yang bernama Weekend Inc. Walaupun hanya didanai dengan kantong sendiri, pertumbuhan perusahaan ini bisa dibilang sangat cepat dan menunjukkan hasil yang gemilang karena hanya dalam dua tahun, Weekend Inc sudah memiliki sekitar 30 orang karyawan dan menghasilkan pendapatan miliaran rupiah setiap tahunnya yang mana sebagian besar klien mereka merupakan perusahaan publik dari berbagai industri besar seperti industri airline, rokok, bank, dan retail. Dengan mematok harga setiap projek sebesar ratusan juta rupiah, tidak heran pendapatan studio desain ini mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya. Kevin mengatakan, “jika dibanginkan dengan studio desain lain, harga satu projek buatan kami memang termasuk mahal, tapi dengan menawarkan kualitas yang tinggi, kami rasa harga kami sesuai dengan kualitas yang kami berikan kepada klien-klien kami,” kata Kevin. Ketika ditanyai kenapa ia membangun Weekend Inc yang pada dasarnya adalah bisnis yang menyediakan layanan pembuatan website, Kevin menjawab, “sebenarnya, saya ingin membangun suatu startup dengan produk yang nyata yang bisa menyelesaikan masalah banyak orang, tapi pada waktu itu kami ingin membangun bisnis yang sustainable terlebih dahulu sebelum saya memutuskan untuk membangun startup yang baru lagi,” jawab Kevin mengenai alasan kenapa ia membangun Weekend Inc. Lalu, ia melanjutkan bahwa terhitung pada bulan Agustus kemarin, ia menyatakan bahwa ia sudah keluar dan tidak ikut campur lagi dalam operasional sehari-hari Weekend Inc, artinya Kevin sudah keluar sepenuhnya dari Weekend Inc. Ia mengatakan, “terhitung pada bulan Agustus kemarin, saya sudah keluar dari Weekend Inc untuk fokus menjalankan Printerous yang sebelumnya merupakan startup sampingan yang saya bangun ketika masih ikut menjalankan Weekend Inc di akhir tahun 2012. Dengan melihat perkembangan Printerous sekarang, saya yakin Printerous mempunyai masa depan yang cerah,” kata Kevin dengan yakinnya. Tapi tentu meninggalkan kenyamanan di Weekend Inc untuk mencoba sesuatu yang baru lagi bukanlah keputusan yang gampang diambil bagi seorang Kevin yang baru saja menjadi ayah dan memiliki keluarga. Hidup cuma sekali, lakukanlah apa yang menurutmu yang paling pantas untuk dilakukan Jangan biarkan kenangan indah anda berlalu begitu saja dengan Printerous Printerous Printerous adalah platform yang menyediakan layanan dimana anda bisa mengedit dan menyetak foto Instagram anda ke dalam bentuk canvas, album foto, sticker, dan magnet lalu hasilnya akan dikirim ke rumah anda. Yang perlu anda lakukan hanya mengunjungi website-nya, daftar dengan akun Instagram anda lalu pilih foto mana saja yang ingin anda edit, cetak, dan pajang di rumah anda setelah barangya sampai. Printerous memungkinkan anda untuk menyimpan kenangan indah anda dalam bentuk nyata yang bisa anda lihat dan rasakan kapanpun. Kevin mengatakan bahwa Printerous adalah bisnis yang sangat sesuai dengan passion-nya pada teknologi dan juga desain. Pada awalnya, Printerous hanyalah bisnis sampingan yang sama sekali tidak dipasarkan, tapi setelah menyaksikan bahwa ada lebih dari 7.000 customer yang telah memesan produk Printerous, Kevin semakin yakin bahwa Printerous adalah bisnis yang bisa diterima pasar dan sustainable. Printerous juga sudah membukukan pendapatan sekitar Rp30-40 juta setiap bulannya. Tapi, sesuai dengan pengakuannya, ia mengatakan, ”memutuskan untuk fokus penuh pada Printerous bukanlah hal yang mudah karena pada awalnya kami tidak begitu yakin apakah bisnis ini bisa berjalan atau tidak, kami masih membutuhkan validasi pasar” ungkap Kevin. Pada dasarnya, saat ini Printerous memudahkan pencetakan foto dari Instagram dengan kualitas bahan yang tinggi tanpa kerumitan layaknya pencetakan foto di suatu digital printer atau studio foto di dekat rumah anda. Tapi masalah terbesarnya adalah apakah customer mau mengedit dan mencetak foto mereka sendiri melalui layanan yang disediakan Printerous di website? Inilah yang menjadi pertimbangan besar Kevin terhadap bisnis ini. Namun, dengan semangat mencobakannya langsung ke pasar dan membangun MVP (Minimum Viable Product) yang jelas, ternyata Printerous bisa diterima baik oleh konsumen. Saat ini, Printerous sudah memiliki lebih dari 7.000 follower di akun Instagram mereka. Jika anda melakukan pencarian dengan hashtag #printerous di Instagram, anda akan mendapati bahwa ada lebih dari 1.000 user yang telah menyampaikan testimonial positif mereka terhadap Printerous. Ini semua bisa didapat oleh Printerous tanpa promosi sama sekali. Ribuan customer inilah yang menghidupi Printerous yang saat ini hanya memiliki tujuh orang karyawan. Sumber: www.startupbisnis.com
Read more

Alumni Success Story – Pinterous

Perkembangan startup yang semakin pesat di Indonesia, didominasi dengan peran anak muda. Hal tersebut bisa kita lihat dari banyaknya CEO/founder startup yang usianya relatif masih muda. Di balik cerita sukses tersebut, terdapat peran dari perguruan tinggi, khususnya dalam membimbing dan menyiapkan generasi muda untuk terus aktif menyalurkan ide kreatifnya, Quipperian. (more…)
Read more

Alumni Success Stories – Toge Production

Toge Productions adalah sebuah pengembang dan penerbit gim independen di Indonesia. Arti nama Toge sendiri diambil dari bahasa Indonesia, yaitu tauge. Toge memiliki filosofi, yaitu cepat beradaptasi dengan lingkungan, dan bisa memberikan manfaat yang positif kepada masyarakat. Toge Productions percaya, pencapaian besar dapat dimulai dari awal yang kecil dan sederhana, seperti halnya tauge. (more…)
Read more