‘Collateral Beauty’: Surat kepada Waktu, Cinta dan Kematian
Foto: new line cinema
Jakarta – Will Smith berperan sebagai ayah yang berduka dalam ‘Collateral Beauty’, sebuah film drama yang diharapkan akan menyentuh kalbu para penontonnya di musim liburan akhir tahun ini. Howard, tokoh yang diperankannya, adalah seorang eksekutif di agensi iklan yang begitu bersemangat dan menikmati hidup. Sampai akhirnya putrinya meninggal dunia dan dunianya hancur berantakan. Bahkan setelah tiga tahun sepeninggal sang putri, ia masih belum bisa untuk legowo.
Rekan kerjanya, Whit (Edward Norton), Claire (Kate Winslet) dan Simon (Michael Pena) berusaha keras untuk mengembalikan lagi semangat hidup Howard. Bukan apa-apa, sebagai pemegang saham tertinggi, Howard menentukan arah perusahaan. Keengganannya untuk melanjutkan hidup seperti dulu kala membuat perusahaan mereka terancam bangkrut.
Di tengah kegalauannya, Howard menulis tiga surat kepada tiga hal: waktu, cinta dan kematian. Ketiga rekan kerja Howard kemudian memiliki ide gila untuk menyewa aktor guna memerankan tiga hal yang disurati Howard. Ide yang awalnya sederhana ini ternyata akhirnya tidak hanya mengubah hidup Howard namun juga tiga rekan kerjanya tersebut.
Ditunggangi dengan nama-nama besar seperti Will Smith, Edward Norton, Kate Winslet, Keira Knightley (berperan sebagai Cinta), Helen Mirren (berperan sebagai Kematian) dan Michael Pena, ‘Collateral Beauty’ di atas kertas bisa menjadi film yang menghangatkan liburan kita yang dingin ini. Namun sayangnya, film berdurasi 96 menit ini gagal menyampaikan itu dan berakhir menjadi semacam lelucon.
Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan sebuah drama yang mempunyai niat besar untuk membuat penontonnya merasa lebih tenang dan damai dengan semua kekacauan yang terjadi di sekitar kita. Kita membutuhkan itu. Tahun 2016 adalah tahun yang cukup kisruh, baik di dunia internasional (Brexit dan Donald Trump) serta di Tanah Air (demo-demo kasus Ahok). Hampir setiap Natal, Hollywood berusaha menyajikan hal yang sama, yang sayangnya tidak bisa diberikan oleh film ini.
David Frankel, sutradara beberapa episode serial legendaris ‘Sex and the City’ dan salah satu komedi tentang pekerjaan terbaik, ‘The Devil Wears Prada’, sesungguhnya sudah berusaha menyajikan film ini dengan visual yang apik. Desain produksinya tertata, gerakan kameranya asyik dan warna pastelnya sungguh menyentuh kalbu. Namun sayang, skrip yang diberikan oleh Allan Loeb memang penuh dengan dialog-dialog murah dan plot klise yang lebih membuat penonton merinding geli daripada trenyuh.
Sampai paruh kedua film, ‘Collateral Beauty’ sebenarnya masih berpotensi untuk menjadi drama yang inspiratif seperti film-film Will Smith yang berjudul ‘The Pursuit of Happiness’ atau pun ‘Seven Pounds’. Tapi sayang, Loeb kemudian melakukan blunder dengan memberikan twist yang tidak perlu serta elemen magis yang justru terasa dipaksakan. Resolusi konfliknya pun kurang nendang.
Nama-nama aktor besar tersebut berusaha keras untuk menyajikan permainan yang asyik, terutama Will Smith. Namun sayang, sentimentalitas skrip dan penyutradaraannya yang sudah bingung, membuat ‘Collateral Beauty’ akhirnya menjadi film yang berlalu begitu saja. Tentu saja, tidak ada salahnya membuat film yang penuh harapan. Tapi dibutuhkan lebih dari sekedar niat baik untuk menjadikan harapan tersebut menyatu di hati penonton.