‘Assassin’s Creed’: Memburu Pusaka Warisan Lewat Memori
Foto: Ubisoft Motion Pictures
Jakarta – Menuju tahun baru, Hollywood semakin getol untuk merilis film-film mahal paling megah mereka. Setelah spin-off ‘Star Wars’ yang dirilis beberapa saat lalu, kini giliran adaptasi game mahal—bujet produksinya mencapai 125 juta dolar AS—berjudul ‘Assassin’s Creed’ yang mendapat giliran untuk nampang di bioskop kita. Berbeda dengan adaptasi game lainnya, film ini mempunyai potensi yang menggiurkan. Dengan nama seperti Justin Kurzel sebagai sutradara yang sempat melejit lewat adaptasi ‘Macbeth’, ‘Assassin’s Creed’ diharapkan menghapuskan stigma bahwa film yang berangkat dari adaptasi game selalu hancur.
Callum Lynch (Michael Fassbender) adalah seorang kriminal yang sekarang sedang bersiap menghadapi hari akhirnya. Setelah disuntik mati, Lynch justru terbangun di sebuah ruangan misterius dengan seorang dokter cantik bernama Sophia Rikkin (Marion Cotillard) yang meyakinkan bahwa dirinya belum meninggal dunia. Lynch tentu saja kebingungan dengan ini semua, apalagi setelah dia mengelilingi fasilitas tempat dia berada sekarang. Kemudian Sophia menjelaskan bahwa Lynch adalah seorang yang spesial.
Seberapa spesial? Lynch ternyata turunan langsung dari Aguilar, seorang assassins dari zaman Inkuisisi Spanyol yang berjuang untuk melindungi benda pusaka. Sophia menginginkan memori Aguilar melalui Lynch agar dia mendapatkan benda pusaka tersebut. “Untuk apa?” tanya Lynch. Sophia, sebagai ilmuwan yang mempunyai niat baik dan moral adiluhung berkata bahwa dengan benda pusaka tersebut dia bisa menekan agresi manusia. Dunia bisa kembali normal dan tidak akan ada lagi peperangan.
Lynch sesungguhnya tidak peduli dengan semua itu. Yang dia inginkan adalah kebebasan. Kemudian ketika dia akhirnya merasakan menjadi Aguilar melalui sebuah proyek bernama Animus, dirinya mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Hidupnya yang tadinya gamang sepertinya mempunyai tujuan. Ketika akhirnya rahasia terkuak, Lynch pun berjuang untuk melawan si penjahat yang mempunyai rencana buruk.
Dengan durasi dua jam lebih, ‘Assassin’s Creed’ adalah sebuah adaptasi yang akan sangat membingungkan bagi penonton yang tidak familiar dengan game-nya. Trio penulis skripnya—Michael Lesslie, Adam Coopler dan Bill Collage—sama sekali tidak tertarik untuk membuat penonton bisa menyatu dengan mudah dengan plot yang ditawarkan filmnya. Sensasi alienasi mau tak mau akan Anda alami bahkan setelah satu jam filmnya diputar.
Sebagai film adaptasi, pembuatnya dengan lantang mempersembahkannya dengan kepercayaan diri yang tinggi, termasuk pembukaan yang misterius. Belum lagi penggunaan bahasa Spanyol serta minimnya dialog di adegan-adegan ketika Lynch berubah menjadi Aguilar. Hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh mereka yang tahu bahwa bahasa visual mereka sudah cukup kuat tanpa perlu mengenalkan konflik.
Sayangnya, sikap ekstra misterius itu justru menjadi bumerang. Posisi para assassins, Templar dan pentingnya benda pusaka yang disebut apel tersebut kurang dibangun dengan baik sehingga jadinya tidak mempunyai nilai emosional yang mendukung penonton untuk peduli. Bagi Anda yang memainkan game ‘Assassin’s Creed’ atau familiar dengan plot cerita di game-nya, semua itu mungkin bukan masalah. Tapi, bagi penonton awam, film ini jadi sangat membingungkan.
Visual Kurzel sesungguhnya sudah apik, lengkap dengan CGI yang mumpuni. Duo Fassbender dan Cotillard juga cukup komit meskipun permainan mereka agak turun jika dibandingkan dengan duet mereka dalam ‘Macbeth’. Tapi sayang, minimnya karakterisasi membuat permainan mereka anyep. Fassbender memang menunjukkan kekuasaannya sebagai bintang film action dengan berbagai adegan stunt yang luar biasa. Tapi apa gunanya kalau ceritanya membuat penonton “pusing”?
Sebagai sebuah hiburan, film ini memang masih menawarkan hal-hal yang membuat Anda tetap duduk nyaman di kursi bioskop. Tapi, sebagai film penyelamat cap bahwa tidak selamanya adaptasi game itu busuk, ‘Assassin’s Creed’ gagal melaksanakan tugasnya.