‘The Magnificent Seven’: Rombongan Koboi Numpang Lewat
Jakarta – Fuqua kembali mengajak Denzel Washington dalam remake western terkenal, ‘The Magnificent Seven’. Setelah bersenang-senang nostalgia dalam ‘The Equalizer’, keduanya mengajak kumpulan aktor hits seperti Chris Pratt, Ethan Hawke dan Vincent D’Onofrio. Fuqua juga mengajak aktor kenamaan Korea, Lee Byung-Hun; Manuel Garcia-Rulfo sebagai perwakilan Meksiko serta pendatang Martin Sensmeier sebagai pemanah ahli suku Comache. Jadilah film ini salah satu blockbuster dengan aktor paling berwarna tahun ini.
Film ini dibuka dengan meyakinkan. Bogue (Peter Sarsgaard dalam edisi penjahat) mengklaim daerah Rose Creek sebagai miliknya. Sebagai pengusaha culas, Bogue berniat untuk mengambil emas di daerah itu demi kepentingan pribadi. Dengan penawaran harga yang sangat rendah, tentu saja penduduk Rose Creek tidal rela. Termasuk suami Emma Cullen (Matt Bomer). Bogue pun menunjukkan kekuatannya dengan mayat bergeletakan di tanah dan gereja yang hangus terbakar.
Marah dengan kelakukan Bogue, Emma Cullen (Haley Bennett) mendatangi Chisolm (Denzel Washington) sebagai penegak hukum untuk menumpas Bogue. Tadinya Chisolm tidak tertarik namjn ternyata kegigihan Cullen meluluhkannya. Kemudian muncul si koboi pemabuk Faraday (Chris Pratt) yang kebetulan membutuhkan kuda. Faraday pun ikut Chisolm untuk merekrut tim lain untuk menumpas Bogue.
Mereka pun berjalan bersama-sama, menyusun rencana dan bersenang-senang sembari menyiapkan diri untuk pembalasan dendam. Apapun yang akan terjadi, mereka tidak akan menyerah sampai Bogue kalah. Bahkan kalau pun nyawa mereka menjadi taruhannya.
Ditulis oleh Richard Wenk dan Nic Pizzolato, remake ‘The Magnificent Seven’ ini tidak mempunyai banyak perbedaan dari versi aslinya. Walaupun Wenk dan Pizzolato menggambarkan sosok penjahat yang jauh lebih relevan di era modern ini. Seorang pengusaha culas kapitalis yang menghalalkan cara untuk memperkaya diri sendiri adalah rumus utama untuk membuat semua penonton langsung bersimpati kepada para pemain utama.
Sayangnya, Wenk dan Pizzolato terlalu sibuk untuk membuat dialog-dialog yang “catchy” sehingga mereka lupa untuk membuat karakter yang tiga dimensi. Selain karakter Washington, Faraday dan Hawke, sisanya hanya nempel. Karakter Byung-Hun dan Sensmeier bahkan dibentuk hanya dengan sedikit kata-kata yang keluar dari mulut mereka.
Meskipun begitu, Fuqua tahu bagaimana cara membuat penonton tetap betah duduk di dalam bioskop. Fuqua mengajak penonton untuk menyaksikan para koboi ini bonding bersama. Kelihatan sekali bahwa para aktornya bersenang-senang; chemistry yang mereka tampilkan cukup kuat sehingga canda dan aksi mereka cukup membantu penonton untuk nyengir lebar.
Sayangnya skrip yang minim emosi membuat babak ketiga film ini terasa berlalu begitu saja. Ledakan demi ledakan disajikan tanpa henti. Asap berhamburan. Kuda-kuda berlari. Namun rasanya hambar karena penonton tidak diberikan kesempatan untuk peduli dengan karakter-karakter yang siap mati demi kebenaran tersebut.
Ini memang bukan film yang buruk. Untuk ukuran remake, film ini bisa dibilang lumayan. Tapi susah untuk tidak kecewa melihat aksi Fuqua dan Washington hanya berlalu begitu saja. Satu-satunya alasan untuk menikmati film ini justru bukan di adegan perangnya melainkan adegan-adegan mereka saling bercanda. Di situ setidaknya Anda tahu bahwa Fuqua tahu bagaimana cara memanfaatkan aktor-aktor terkenalnya.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
Source:
http://hot.detik.com/premiere/3309640/the-magnificent-seven-rombongan-koboi-numpang-lewat?mphot