‘Don’t Breathe’: Para Perampok yang Terjebak di Rumah Korbannya
Jakarta -‘Don’t Breathe’ adalah salah satu jenis judul film yang sangat jarang ditemukan. Judul ini tidak hanya memberikan gambaran filmnya sendiri, namun juga reaksi nyata yang kemungkinan akan terjadi ketika Anda menontonnya. Film ini benar-benar akan membuat Anda menahan napas selama 90 menit. Dan, Anda akan menikmati semua momennya.
Film ini memutarbalikkan genre home invasion yang biasanya kita lihat. Kalau biasanya-seperti dalam ‘Panic Room’ misalnya—kita berada di posisi yang punya rumah dan mencoba untuk bertahan hidup, dalam film ini situasinya dibalik. Protagonisnya justru para perampoknya.
Rocky (Jane Levy), Alex (Dylan Minnette) dan Money (Daniel Zovatto) merampok hanya untuk mencoba hidup dari gersangnya kota Detroit. Mereka tidak pernah melakukan kekerasan apalagi membunuh si tuan rumah. Mereka pun biasanya cenderung mengincar barang-barang mahal. Semuanya itu berubah ketika Money mendapatkan info bahwa ada seorang pria tua yang tinggal sendirian dan menyimpan uang banyak.
Alex menolak ide ini. Merampok orang dan mengambil uang tunai akan mengindikasikan bahwa mereka kriminal kelas berat. Kalau mereka tertangkap, tuntutan hukumnya lebih gawat. Namun Money dan Rocky tidak peduli. Bayangan uang yang banyak membuat mereka mabuk. Bahkan ketika mereka tahu bahwa pria tua (Stephen Lang) itu ternyata buta, mereka tetap melanjutkan rencana mereka.
|
Maka berangkatlah mereka di tengah malam dan menyusup ke dalam rumah. Semuanya berjalan aman pada awalnya. Sampai ketika mereka mengetahui bahwa si pria tua buta itu ternyata tak seperti yang mereka bayangkan. Rencana menggiurkan itu kini menjadi petak umpet hidup dan mati. Malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidup para perampok itu.
Sutradara Fede Alvarez dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa film ini sengaja dibuat untuk menjawab review para kritikus terhadap ‘Evil Dead’. Meskipun banyak yang mengatakan bahwa ‘Evil Dead’ adalah salah satu remake terbaik dalam beberapa tahun terakhir, namun banyak yang mengkritisi bahwa Alvarez terlalu bergantung kepada jump scares, adegan-adegan berdarah dan materi yang sudah ada sebelumnya. ‘Don’t Breathe’ menjawab itu semua.
Skrip original yang ditulis Alvarez bersama Rodo Sayagues tidak bertele-tele dalam bercerita. Kita langsung melihat modus operandi pelaku utama sambil melihat karakter mereka satu per satu. Seperti film thriller yang bagus, Alvarez dan Sayagues dengan cerdik memberikan unsur humanis kepada para tokoh utamanya meskipun pekerjaan mereka masuk ke ranah kriminal. Humanisasi para karakter ini membuat penonton segera peduli terhadap mereka, apalagi ketika Alvarez dan Sayagues melepas si monster dari kandang.
Plot yang ditawarkan memang bukan sesuatu yang baru. Namun bagaimana Alvarez mengurai seluruh mimpi buruk ini menjadi kesatuan yang tidak berkesudahan adalah sesuatu yang jarang kita lihat dari film-film sejenis. Alvarez menggunakan seluruh kemampuan teknis yang optimal sehingga menghasilkan satu rangka film yang tidak pernah kendor tensinya.
Kamera Pedro Luque dengan lincah bergerak dinamis. Begitu karakter utamanya masuk ke dalam rumah, kita juga diajak “berkenalan” dengan denah rumah itu. Penonton seakan diundang menjadi orang kelima dalam rumah tersebut: kita diberi tahu di mana saja kita bisa melarikan diri jika kita berada dalam posisi mereka. Gambarnya tenang, tidak pecicilan, selalu berhati-hati dan hasilnya luar biasa efektif.
Pengaturan kamera yang detail itu kemudian ditambah dengan pengaturan musik yang sempurna. Dalam film semacam ini, musik berperan sangat penting. Musik bisa membunuh atau justru menambah ketenangan. Terlalu berisik bisa merusak kesenangan. Tapi terlalu sepi juga bisa membuat penonton mengantuk. Dalam ‘Don’t Breathe’, musik sengaja diatur dengan sempurna. Jika Alvarez mengejutkan penonton dengan jump scares, Anda akan loncat beneran karena dia mengaturnya dengan presisi yang pas. Kemudian datanglah momen hening. Dalam salah satu adegan horor paling menegangkan selama beberapa tahun terakhir, keheningan ‘Don’t Breathe’ menjadi kekuatan utama.
Gambar dan musik tersebut disatukan oleh editing yang mulus—kredit kepada Eric L. Beason, Louise Ford dan Gardner Gould. Seperti dalam adegan awal masuk rumah yang dibuat seakan-akan dalam satu take—’Panic Room’ bisa jadi referensi utamanya. Atau, serangkaian potongan adegan yang sengaja dibuat untuk menipu penonton.
Semua aktor bermain dengan apik. Jane Levy bermain meyakinkan sebagai protagonis utama. Kali kedua bermain dalam film Alvarez, Levy menunjukkan bagaimana rasa ketakutan yang nyata. Dylan Minnette dan Daniel Zovatto juga cukup meyakinkan untuk menjadi teman seperjuangan. Tapi memang Stephen Lang-lah yang mencuri perhatian di sini. Dia hanya kebagian beberapa baris dialog, tapi setiap gerak-gerik dan ekspresinya akan membuat Anda meringkuk di kursi bioskop.
Sekali lagi, ‘Don’t Breathe’ hadir sesuai dengan judulnya. Film ini sangat intens dan akan membuat Anda berharap semua ini segera usai. Dan begitu lampu dinyalakan, Anda akan menghela napas yang panjang. Bagi yang jantungnya kendor, jangan coba-coba menonton film ini. Tapi bagi Anda yang doyan film penggedor adrenalin, film ini akan memuaskan Anda lebih dari apapun yang ditawarkan thriller Hollywood saat ini.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
Source:
https://hot.detik.com/premiere/d-3289737/dont-breathe-para-perampok-yang-terjebak-di-rumah-korbannya