‘Jason Bourne’: Lebih dari Sekedar Nostalgia
Jakarta – Sebenarnya kita tidak perlu lagi cerita tentang Jason Bourne (Matt Damon). ‘The Bourne Identity’ (2002) yang disutradarai oleh Doug Liman telah mengenalkan kita pada sosok agen rahasia yang amnesia ini. Lalu, ‘The Bourne Supremacy’ (2004) yang disutradarai oleh Paul Greengrass mengajak kita untuk menjelajah lebih dalam tentang misi rahasia dan keterlibatan Jason Bourne di dalamnya. Jilid terakhir, ‘The Bourne Ultimatum’ (2007) yang juga disutradarai oleh Greengrass, menutup trilogi ini dengan memberikan jawaban atas siapa sebenarnya Jason Bourne.
‘Ultimatum’ tidak hanya menjadi jilid penutup yang manis tapi juga menunjukkan betapa maut duet Greengrass dan Damon. Meraih tiga piala Oscar untuk editing, sound mixing dan sound editing, film ini tak hanya sukses secara komersial namun juga menjadi salah satu benchmark film aksi-thriller-spionase yang cerdas sekaligus menegangkan. Secara keseluruhan, seri ini memberi kita alternatif film agen rahasia yang jauh lebih “edgy” daripada James Bond. Jika James Bond mengajak kita berpetualang dengan lokasi eksotis, gadget canggih dan perempuan-perempuan menawan, serial Jason Bourne menawarkan intrik politik, adegan aksi yang thrillling dan karakter yang begitu fokus.
Kita tidak pernah melihat Jason Bourne flirting dengan cewek cantik. Cara dia bekerja dan usahanya untuk mendapatkan apa yang dia mau adalah hal yang membuatnya menjadi karakter yang simpatik.
Universal yang merasa bahwa Bourne adalah sumber dollar yang menguntungkan, tentu saja harus melanjutkan ceritanya. Itulah sebabnya di tahun 2012 kita mendapatkan ‘The Bourne Legacy’―disutradarai oleh Tony Gilroy―yang mengenalkan tokoh bernama Aaron Cross (Jeremy Renner) yang sama mematikannya seperti Jason Bourne. Sayangnya, film ini tidak mendapatkan kasih sayang seperti pendahulunya.
Entah mungkin karena Matt Damon kangen menjadi Jason Bourne lagi atau memang rayuan para eksekutif Universal terlalu menggiurkan, musim panas ini Jason Bourne kembali menghantui layar bioskop. Kali ini, kita melihat Jason Bourne menyepi di Yunani, mencoba hidup tenang sampai akhirnya Nicky (Julia Stiles) datang dan menyeretnya kembali ke dalam sebuah labirin gelap yang memaksanya menghadapi masa lalu.
Ditulis oleh Paul Greengrass sendiri bersama editornya, Christopher Rouse, ‘Jason Bourne’ membawa penonton ke dalam sebuah aksi Bourne melawan CIA yang menegangkan dan penuh dengan intrik yang cukup menarik. Yang ia hadapi kali ini adalah Robert Dewey (Tommy Lee Jones), direktur CIA dan seorang pembunuh bayaran yang diperankan oleh Vincent Cassel.
Sebagai pembuka bab baru dalam seri ini, Greengrass dan Rouse cukup memberikan umpan yang menarik kepada penonton―mengingat sebenarnya misteri utama tentang Bourne telah terungkap di film terakhirnya. Yang cerdik dari cerita yang ditawarkan penulis skripnya adalah bagaimana mereka menarik penonton ke masa lalu Bourne yang lebih dalam. Identitas asli Bourne memang sudah ketahuan tapi kali ini Greengrass dan Rouse mengajak penonton untuk lebih masuk ke dalam lagi tentang jati diri Bourne sebenarnya.
Apakah motivasi sesungguhnya Bourne menjadi agen CIA? Menggunakan ayahnya (diperankan oleh Gregg Henry) sebagai misteri baru, ‘Jason Bourne’ adalah awal yang menjanjikan untuk kelanjutan serial ini.
Greengrass dan Crouse juga sadar bahwa dunia berubah lebih jauh semenjak kita melihat aksi Bourne sembilan tahun yang lalu. Kita tinggal di sebuah dunia dimana internet berperan sangat besar di kehidupan sehari-hari. Suntikan intrik antara keterlibatan CIA dengan sosial media dalam lingkup privasi juga membuat film ini menjadi terasa lebih real.
Seperti tradisi seri Bourne sebelumnya, kita melihat aktor-aktor pilihan dalam film ini. Tommy Lee Jones mampu menjadi gambar birokrat yang tidak hanya berpengaruh namun juga mematikan. Sementara itu, Vincent Cassel menawarkan aksi yang akan membuat musuh James Bond ketakutan. Alicia Vikander yang berperan sebagai agen CIA yang khusus menangani masalah cyber security menunjukkan bahwa Oscarnya bukanlah keberuntungan. Anda akan melihat bagaimana lihainya Vikander memainkan ekspresi wajahnya. Penonton tidak akan pernah tahu di tim mana sebenarnya dia berada.
Matt Damon di sisi lain, meskipun terlihat sedikit lebih tua dan beruban, tetap menunjukkan bahwa hanya dialah yang bisa memerankan agen rahasia ini. Tidak seperti James Bond yang bisa diganti-ganti, hanya Matt Damon yang bisa memerankan peran ini. Di film ini, tidak hanya Matt Damon sanggup menunjukkan kemampuan fisiknya yang diatas rata-rata, namun dia juga sanggup menyampaikan emosi tanpa harus berdialog.
Paul Greengrass sebagai sutradara sekali lagi menunjukkan bahwa hanya dia yang bisa menjadikan sebuah film aksi sebagai sebuah karya seni. Aksi main kucing-kucingan kali ini begitu sensasional dan mendebarkan. Semua aspek teknisnya di atas rata-rata. Jika ‘Supremacy’ menawarkan kejar-kejaran epik di Mosko dan ‘Ultimatum’ menawarkan adegan tabrakan tak terkendali di New York, bersiaplah untuk menyaksikan Las Vegas diacak-acak dalam sekuens paling mendebarkan musim panas ini. Babak ketiga ‘Jason Bourne’ akan membuat Anda merasa seperti sedang menggunakan narkoba.
Kamera Backy Ackroyd, editing dari Christoper Rouse, scoring dari John Powell dan David Buckley dan sound design dari Michael Fentum akan membawa Anda ke dalam sebuah pengalaman sinematik yang seru. Setiap tabrakan dan setiap ledakan terasa seperti benar-benar terjadi. ‘Jason Bourne’ mungkin sebuah entry yang tidak perlu. Tapi, skill Greengrass dan nostalgia untuk menonton Bourne beraksi lagi membuat film ini menjadi film wajib tonton musim panas ini.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
Sumber:
http://hot.detik.com/premiere/3263287/jason-bourne-lebih-dari-sekedar-nostalgia