‘Batman v Superman: Dawn of Justice’: Makanan Pembuka untuk Fans Sejati
Jakarta – Lois Lane (Amy Adams) pergi ke Afrika untuk mewawancarai teroris. Clark Kent alias Superman (Henry Cavill) siap sedia untuk menolong di mana pun kekasihnya itu berada. Sementara itu Bruce Wayne/Batman (Ben Affleck) sibuk mencari mafia jahat bertato. Setelah lama menghilang, Wayne akhirnya kembali berkeliaran ke jalanan Metropolis.
Dua tahun setelah perkelahian mutakhir antara Superman dan General Zod yang memporak-porandakan Metropolis, Amerika akhirnya bertanya-tanya: apakah Superman adalah pahlawan yang kita butuhkan? Atau, jangan-jangan dia adalah penjahat kriminal yang harus dibasmi? Tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghadapi dewa sepertinya.
Dan, di antara pemerintah ikut campur soal Superman dan Bruce Wayne sibuk meretas sistem demi mencari si mafia, muncullah jenius kaya raya bernama Lex Luthor (Jesse Eisenberg) yang menunjukkan itikadnya untuk membuat senjata agar alien seperti Superman bisa dikalahkan. Tinggal menunggu waktu sebelum perang dimulai lagi.
Tiga tahun setelah ‘Man of Steel’, Warner Bros akhirnya merilis film ini dengan formasi yang sama. Zack Snyder kembali duduk di kursi sutradara dan David S Goyer kembali menulis skripnya. Kali ini Chris Terrio yang memenangkan Oscar via ‘Argo’ membantu Goyer untuk membuat ‘Batman v. Superman: Dawn Of Justice’ menjadi menggelegar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa tren film superhero menjadi salah satu hal yang penting dalam industri perfilman Amerika di era milenium ini. Studio-studio besar Amerika berbondong-bondong untuk membuat film yang serupa karena tahu keuntungan film-film jenis ini akan membuat mereka tetap makmur. Tidak heran jika mereka dengan sigap membeli komik-komik ini dengan cepat.
DC dan Marvel adalah dua dunia yang berseberangan. Jika film-film Marvel riang gembira penuh ledakan, maka film-film DC berusaha keras untuk menampilkan dunia fantasi dengan serius. Sukses Marvel meraup dolar dari setiap superhero mereka tiap tahunnya —tahun ini kita punya ‘Deadpool’ dan ‘Captain America: The Civil War’— membuat DC alias Warner Bros mau tidak mau mengikuti jejak tersebut dalam memproduksi film yang serupa. Hasilnya: sampai 2020 baik Marvel dan DC sudah mempersiapkan apa saja yang akan mereka hadirkan kepada penonton setiap tahunnya. Terutama film besar yang melibatkan semua koleksi pahlawan mereka untuk menghasilkan tontonan yang maha legendaris.
Keputusan ini akhirnya mengubah cara pembuat film dalam bercerita di genre ini. Dulu, sebelum Marvel memutuskan untuk mengeluarkan semua pahlawan mereka dalam ‘The Avengers’, film-film superhero itu terasa personal. Dalam film pertama ‘Spider-Man’ buatan Sam Raimi, ketika Peter Parker kehilangan pamannya, kita ikutan merasa terluka. Dalam ‘Batman Begins’ karya Nolan, ketika seluruh kota dihantui teror Scarecrow, kita iku panik.
Sekarang tidak lagi. Film-film ini hanya berfungsi sebagai jembatan untuk episode mahal berikutnya. Film-film superhero masa kini hanya dimaksudkan untuk menyenangkan para penggemar sejati yang rela untuk menonton film mereka empat sampai lima kali, kemudian menghitung mundur sebelum film berikutnya muncul. Penonton biasa dibiarkan terlantar. Film seperti ‘Ant-Man’ tidak lagi menceritakan tentang asal mula Ant-Man. Ini menjadi senjata untuk pemanasan tentang apa yang akan terjadi di film Marvel berikutnya.
‘Batman v Superman: Dawn of Justice’ adalah contoh kasus fatal atas hal tersebut. Skrip yang ditulis oleh David S Goyer dan Chris Terrio tidak berhasil untuk menyampaikan alasan; semua karakter bergerak seolah mereka tidak mempunyai motivasi. Yang penting Clark Kent dan Bruce Wayne bisa ketemu di pestanya Lex Luthor. Bagaimana bisa mereka ada di sana dan mengapa, Goyer dan Terrio tidak punya waktu untuk menjelaskan. Dengan durasi yang cukup panjang, 152 menit, ‘Dawn of Justice’ hanyalah sebuah “set-up” panjang untuk film berikutnya.
Sungguh disayangkan bahwa film dengan bujet 250 juta dolar AS ini hanya berakhir sebagai makanan pembuka. Padahal aktor-aktor yang diseret oleh Snyder untuk beraksi di sini cukup mematikan. Amy Adams tidak mempunyai banyak materi selain selalu kesusahan sebelum di menit-menit terakhir ketika diselamatkan oleh sang kekasih (dapat salam dari kaum feminis!). Henry Cavill hanya menang ganteng. Ben Affleck mencoba untuk menjadi Batman yang baik tapi kalah jauh dari Christian Bale karena Bale diberikan motivasi yang jelas oleh Nolan. Jeremy Irons sebagai Alfred malah kelihatan seperti kakek-kakek hipster ketimbang pelayan.
Satu-satunya orang yang ternyata berhasil membuat mata banyak penonton melek adalah Gal Gadot sebagai Wonder Woman. Hans Zimmer dan Junkie XL juga sengaja membuat theme song khusus yang ‘nagih’ untuknya. Perlakuan yang agak kurang adil ini memang sedikit banyak membuat tokoh ini menjadi naudzubillah keren ketika dia pertama kali muncul.
Dan, setelah dua jam pemanasan yang diakhiri dengan 30 menit penuh perang dan aksi, ‘Batman v. Superman: Dawn of Justice’ terbukti menjadi penantian yang agak mengecewakan. Zack Snyder ternyata jauh lebih asyik untuk menyelipkan sosok Flash dan Aquaman dibandingkan mempersembahkan sebuah cerita utuh yang enak dinikmati dengan karakter yang jelas maunya apa. Visualnya memang indah tapi apa artinya kalo isinya hampa.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
Sumber:
http://m.detik.com/hot/premiere/3172375/batman-v-superman-dawn-of-justice-makanan-pembuka-untuk-fans-sejati