‘Room’: Indahnya Dunia di Luar Sana

Jakarta – Jack (Jacob Tremblay) bangun dari tempat tidurnya dan menyapa benda-benda yang ada di sekitarnya. Dari jendela, pintu, pipa, selang air, keran air, lemari, dan tidak terkecuali ibunya yang ia panggil Ma (Brie Larson). Kemudian kita secara perlahan mengetahui fakta menyeramkan: Jack dari lahir sampai berulang tahun yang ke-5 pagi itu, tidak pernah keluar dari sebuah ruangan kotak yang ia sebut “dunia”. Dia adalah hasil dari predator seksual yang menculik ibunya dengan paksa dan memperkosanya secara berkala.

‘Room’ bukanlah film yang depresif meskipun dari paragraf di atas Anda bisa membayangkan betapa “kejam” film ini. Justru sebaliknya, film ini mengajak kita untuk menyelami indahnya dunia, betapa besarnya makna bersyukur melalui mata bocah umur lima tahun yang tidak pernah melihat “dunia yang sebenarnya”. Ketika Jack akhirnya tersadar dunia tidak sebesar ruangan sesak itu, Anda dijamin akan mulai berkaca-kaca menatap layar bioskop.

Diangkat dari novel laris berjudul sama, film ini mendapatkan perlakuan yang unik seperti ‘Gone Girl’ yang dirilis beberapa tahun sebelumnya. Film ini diadaptasi oleh penulis bukunya sendiri, Emma Donoghue yang tahu benar apa perbedaan medium novel dan audio visual dalam film. Donoghue menerjemahkan dengan baik bagaimana cara kerja otak Jack menangkap dunia yang dia pikir adalah segala-galanya. Narasi yang diucapkan Jack sepanjang film cukup menjelaskan betapa keras usaha si ibu untuk menjaga anaknya tetap waras tanpa perlu terasa bertele-tele.

Juga tidak lepas dari esensi bukunya soal pondasi hubungan antara ibu dan anak. ‘Room’ menjadi luar biasa karena film ini menjelaskan betapa kasih ibu tak terukur. Bahkan dengan kenyataan bahwa Jack lahir dari konsekuensi yang tidak diinginkan, namun sang ibu tetap menyayanginya dan melindunginya sekuat tenaga. Dinamika hubungan antara Jack dan sang ibu, baik ketika masih di dalam ruangan atau pun menghirup udara luar untuk pertama kalinya adalah poin kuat yang membuat film ini seperti roller coaster emosi yang memuaskan.

Lenny Abrahamson sebelum ini merilis ‘Frank’ dengan Michael Fassbender sebagai pemimpinnya. Abrahamson tahu bagaimana menampilkan jiwa-jiwa rapuh di layar kaca. Di film sebelumnya, penonton diajak untuk memahami sebenarnya kenapa Frank menutupi kepalanya. Di film ini tidak hanya kita melihat betapa kejam efek psikologi yang diberikan si penculik kepada korban tapi juga dibekali pesan yang begitu indah bahwa ibu akan melakukan segalanya demi anaknya.

Dengan skrip yang paten, Abrahamson kemudian melanjutkannya dengan penyutradaraan yang asyik. ‘Room’ tidak pernah kehilangan momen. Sang sutradara berhasil menuntun penonton dari perasaan kasihan ke perasaan bahagia di akhir film tanpa perlu bersentimentil ala sinetron. Abrahamson bisa melakukannya dengan mudah karena dibekali dengan para pemain yang luar biasa berbakat.

Veteran Joan Allen sebagai Ibu si Ma memang memberikan penampilan yang oke. Tapi Brie Larson dan Jacob Tremblay-lah yang menjadikan ‘Room’ sebagai drama yang kuat. Mereka berdua berinteraksi seperti orangtua dan anak “beneran”. Tidak hanya memiliki kemiripan fisik namun mereka juga saling mengisi satu sama lain. Film sejenis ‘Room’ adalah salah satu tantangan bagi pembuat film karena mereka harus menemukan aktor cilik yang sanggup memainkan peran yang bahkan bagi aktor dewasa adalah pekerjaan rumah yang berat.

Jacob Tremblay dalam film pertamanya ini berhasil melakukannya dengan begitu bagus. Anda bisa melihat masa depannya yang bagus sebagai aktor. Chemistry-nya dengan Brie Larson tidak hanya mengharukan namun benar-benar menginspirasi.

Sementara itu semua sorotan memang ada di pihak Brie Larson. Setelah malang melintang dengan peran-peran yang cukup menarik seperti remaja ababil dalam serial ‘The United States of Tara’, salah satu mantan Michael Cera dalam ‘Scott Pilgrim Vs. The World’, menjadi cem-ceman Jonah Hill dalam proyek remake ’21 Jump Street’, adik Amy Schumer yang waras dalam ‘Trainwreck’, Larson akhirnya mendapatkan ganjaran yang layakmelalui perannya dalam ‘Room’.

Kalau saja dunia ini adil, Larson harusnya sudah mendapatkan sorotan itu semenjak dia menjadi pemimpin dalam drama menawan ‘Short Term 12’ yang dirilis beberapa tahun lalu. Tapi, ‘Room’ memang menunjukkan keperkasaannya. Anda bisa melihat semuanya di wajahnya. Amarah, keputusasaan, depresi, dengki, tak berdaya sampai bahagia yang meluap-luap di matanya. Bahkan ketika Larson tidak mengucapkan apapun, semua emosi itu seperti bisa tertransfer dengan mudah.

Film ini mungkin akan dikenang sebagai film yang membuat Brie Larson mendapatkan Oscar pertamanya. Tapi film ini menawarkan lebih dari itu. Premisnya mungkin terdengar menyeramkan. Tapi, percayalah, jika Anda memang pasrah masuk ke dalamnya, ‘Room’ akan mengajarkan betapa kita adalah orang-orang yang beruntung, dan bahwa hidup itu sebenarnya sangatlah indah.

Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.

Sumber:
http://m.detik.com/hot/premiere/3156466/room-indahnya-dunia-di-luar-sana

Whatsapp