Jaka Sembung dan Dunia Islam

Jika kita menengok kajian film dan media tentang hubungan film dan (dunia) Islam, agak langka  orang membahas judul seperti Laskar Pelangi, Rindu Kami Pada-Mu, Bukan Cinta Biasa, film eksperimental seperti Kantata Takwa, terlebih film bergenre fantasi dan laga semacam Merantau, film-film silat dari Djajakusuma seperti Harimau Tjampa, dan seri Jaka Sembung. Tapi saya menemukan ada keterkaitan antara film Jaka Sembung dengan dunia Islam.

Jaka Sembung dan dunia Islam? Ya tentu saja. Tapi sebelum membahas kaitan keduanya, saya hendak menggarisbawahi fenomena film-film kelas B produksi 1979-1994 yang diedarkan lagi dalam bentuk DVD di Barat. Sebenarnya sudah beberapa kali saya menulis soal ini, namun ada baiknya saya ulangi kembali.

Film-film Indonesia itu adalah film-film popular 1980an yang masuk dalam kategori film eksploitasi (sederhananya: film berbuget rendah dengan banyak adegan kekerasan dan/atau sensual). Di Indonesia, elit budaya dan pemerintah Indonesia tidak terlalu ambil peduli dengan film-film semacam ini, karena Politik Selera mereka berfokus pada pencarian “wajah Indonesia yang sebenarnya” yang menyebabkan film dengan pendekatan non-realis tidak masuk dalam kategori “resmi“film Indonesia (misalnya: tidak pernah menang FFI, tidak pernah menjadi duta resmi Indonesia ke berbagai festival film dunia, misalnya).

Sebaliknya, film-film seperti ini banyak penggemarnya, baik di dalam dan di luar negeri, dan menjadi subkultur tersendiri, dengan kanal distribusi dan eksibisi alternatif seperti Layar Tancap (yang tak tersentuh kebijakan politik hingga 1993), VCD murah, dan distribusi asing. Uniknya, justru film “tak penting” seperti ini yang laku di pasar film internasional, sejak 1982. Pengedar di Barat melabeli film jenis ini dengan istilah “Cult Films”. Di antaranya: Ratu Ilmu Hitam, Pasukan Berani Mati, Golok Setan, Perempuan di Sarang Sindikat, Pengabdi Setan, dan seri Jaka Sembung, yang acap diberi label “Crazy Indonesia” oleh fans. Mari kita bahas yang terakhir, berkaitan dengan dunia Islam.

Di luar negeri ,  seri film Jaka Sembung, yaitu The Warrior(sutradara Sisworo Gautama Putra, diprodusi 1981), The Warrior and the Blind Swordsman (Si Buta dan Jaka Sembung, Dasri Jacob, 1983) dan The Warrior and the Ninja (Bajing Ireng dan Jaka Sembung,Tjut Djalil, 1983) mempunyai banyak penggemar di dunia maya, di antaranya di AVManiacs—di samping banyak diulas di berbagai e-fanzine dan blog.

Beberapa resensi di Barat menghubungkannya dengan keislaman. Misalnya,  Brian Harris (Yahoo Contributor Network), memberi judul resensinya dengan “Islamic Pinoy Action Exploitation” (walau, tentu saja,  film ini bukan dari Philiphina), dan menjelaskan bahwa pertarungan “Ilmu Hitam Jawa” melawan “Islam” sebagai salah satu elemen paling menarik, di samping adegan laga dengan mannequin yang terlihat gamblang dan adegan kepala dan tangan yang terputus dan tersambung kembali berkat ajian Rawa Rontek”. Di akhir tulisan, ia memberikan komntar: “CULT ACTION GOLD!” Sedangkan di Eccentric Cinema,  Brian Lindsey menulis istilah yang agak bombastis: “The Warrior is an Indonesian Islamic martial arts mayhem.”

Mari kita bahas film pertama: Jaka Sembung Sang Penakluk. Film hasil adaptasi komik karya Djair di pertengahan 1960an ini memang kental dengan semangat keislaman.  Cerita berfokus pada Parmin Sutawinata  yang lahir tahun 1602 (bertepatan dengan lahirnya VOC),asal Kandanghaur yang berguru di Gunung Sembung. Ia direpresentasikan sebagai pembela kaum lemah melawan penjajah Belanda di abad ke-17. Karl Heider menamakan genre film semacam ini dengan istilah “genre Kumpeni”.

Bersama kawan-kawannya yang rajin shalat dan berdoa, Jaka  tinggal di sebuah tempat yang mirip pesantren.  Uniknya, dalam versi DVD, si peracik tidak menghapus adegan dan dubbing doa dan zikir dengan menyebut nama “Allah”, walau disulihsuarakan dengan agak aneh (misalnya, ucapan takbir dan salam shalat dengan Bahasa Inggris), termasuk di saat-saat kritis sang jagoan. Saat Surti, kekasihnya, hendak menyetopnya untuk tampil melawan penjajah, ia berkata (dalam dubbing berbahasa Inggris): “Biarlah Allah yang menentukan takdirku”, dan tetap maju ke medan laga.

Bahkan, saat melawan Ki Item yang digjaya itu, dia yang dalam keadaan buta  disihir menjadi seekor babi hitam. Sang babi buta pun berlari dikejar anjing yang berlomba menggigitinya. Saat serdadu Belanda ingin mengejar dan membunuhnya, Ki Item mencegahnya seraya mengingatkan bahwa mayoritas penduduk di sana adalah Muslim, dan mereka memperlakukan babi dengan buruk—tentu ini menjadi kritikan, karena seharam dan senajis apapun babi (dan anjing), kita sebaiknya memperlakukan mereka selayaknya makhluk ciptaan Tuhan lainnya.

Tentu saja, ada upaya membingkai film ini untuk penonton Barat baik dari produsernya atau distributor internasional. Maka, istilah “voodoo”, “Caligula”, dan “Mata Hari” pun hadir dalam film ini.  Kita juga melihat adegan yang mirip dengan adegan akhir Samson dan Delilah, serta penyaliban ala Yesus seperti di film Ben Hur, lengkap dengan adegan memberikan air minum untuk sang protagonis. Dan, yang menarik, tentu score musik pembukanya, yang mencampur nuansa Sunda dengan musik instrumentalia ala Spaggetti Western semacam trilogi The Man With No Name dan Djanggo.

Dan, menariknya, saat masih berupa trailer, adegan doa-doa ditiadakan. Ada adegan saat Surti gundah karena Parmin ditangkap, ia diberi nasehat ayahnya dengan pernyataan: “Bertawakallah pada Allah”. Namun di trailer, dialog ini diubah menjadi “Sepertinya kau meremehkan Jaka, Surti”.  Semangat sekularisasi ini tentu saja untuk berjualan ke penggila film eksploitasi dan cult di Barat,  sebuah upaya yang diistilahkan oleh Mathijs dan Sexton dengan sebutan “Meta-Cult”.

Uniknya, banyak yang percaya bahwa Jaka Sembung itu adalah tokoh nyata. Maka, ada orang yang mengaitkannya dengan silsilah Obama dan Sunan Gunung Jati, bahkan ada seorang wartawan majalah mistik bertapa di Gunung Sembung untuk berjumpa dengan arwahnya, dan sebagainya. Padahal menurut Djair, pengarangnya, ia cuma tokoh fiktif yang kebetulan dekat dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya, ujarnya pada sebuah seminar budayawan di Taman Ismail Marzuki tahun 1983 (Kompas 12 Juli 2007).

Terakhir, sedikit trivia, film ini diedakan tahun 1981 dengan tagline: “Untuk pertama kalinya ilmu Rawa Rontek difilemkan!!!“.

Catatan: Untuk lebih “akrab” dengan Jaka Sembung silakan  saksikan langsung tayangannya lewat link di bawah ini:

  1. Trailer dan sekularisasi dengan link berikut:http://www.youtube.com/watch?v=2nFf7b5MGJ4
  2. Full version versi asli (Bahasa Indonesia) di Youtube:http://www.youtube.com/watch?v=B4aWs-JK-CIhttp://www.youtube.com/watch?v=B4aWs-JK-CI

 

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri  sekaligus redaktur rumahfilm.org  itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris Raya.

Sumber : http://islamindonesia.co.id/detail/1260-Jaka-Sembung-dan-Dunia-Islam

Whatsapp